Makanan merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia. Untuk dapat beraktivitas, manusia membutuhkan energi dari makanan. Selain nilai gizi yang baik, makanan harus bersih dan aman untuk dikonsumsi. Makanan yang tidak bersih dan tidak aman dapat menimbulkan efek buruk bagi kesehatan manusia baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang.
Makanan yang tidak bersih dan tidak aman dapat disebabkan oleh kontaminasi. Kontaminan pada makanan dapat berupa cemaran mikroorganisme, cemaran fisik maupun cemaran kimia yang bersifat toksik. Salah satu kontaminan dalam pangan adalah mikotoksin yang merupakan kontaminan kimia.
Mikotoksin berasal dari kata mykes yang berarti jamur dan toxini yang berarti racun. Mikotoksin merupakan bahan kimia beracun yang diproduksi oleh beberapa jenis jamur. Jika termakan manusia dalam jumlah tertentu, mikotoksin dapat menyebabkan penyakit bagi manusia dan hewan yang biasanya merupakan efek jangka panjang.
Terdapat berbagai jenis mikotoksin yang dapat mencemari produk pertanian. Beberapa jenis mikotoksin yang sering ditemukan di antaranya adalah aflatoksin, okratoksin, deoksinivalenol dan nivalenol, zearalenone serta fumonisin. Mikotoksin tersebut sering ditemukan pada beberapa produk hasil pertanian.
- Aflatoksin
Aflatoksin merupakan salah satu jenis mikotoksin yang kerap ditemukan pada produk pertanian. Terdapat beberapa tipe aflatoksin yaitu aflatoksin B1 dan B2 (AFB), aflatoksin G1 dan G2 (AFG), aflatoksin M1 (AFM1) aflatoksin M2, aflatoksikol (AFL) serta aflatoksin Q1. Tipe-tipe aflatoksin tersebut memiliki tingkat toksisitas yang berbeda-beda. Aflatoksin B1 diketahui memiliki toksisitas yang lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya. Jika terakumulasi dalam jumlah tertentu, aflatoksin dapat bersifat karsinogenik bagi manusia.
Aflatoksin sering ditemukan pada jagung, kacang, sorghum, gandum dan beras yang terkontaminasi jamur penghasil aflatoksin. Jamur yang memproduksi aflatoksin di antaranya adalah Aspergillus flavus, A. parasiticus dan A. nomius. Jamur dari genus Aspergillus ini dapat tumbuh di tanah, seresah tanaman yang membusuk, jerami dan butir serealia.
Aspergillus flavus yang tumbuh pada jagung (https://www.cifr.ncsu.edu/aflavus/)
- Okratoksin
Okratoksin adalah kelompok mikotoksin yang dihasilkan oleh beberapa spesies Aspergillus (Aspergillus ochraceus, A. carbonarius dan A. niger) serta beberapa spesies Penicillium terutama Penicillium verrucosum. Okratoksin terbagi menjadi okratoksin A, B dan C. Adapun okratoksin yang paling sering ditemukan adalah okratoksin A. Okratoksin dapat bersifat toksik bagi organ hati apabila terakumulasi dalam jumlah tertentu.
Okratoksin dihasilkan oleh jamur pada saat penyimpanan serealia, produk turunan serealia dan rempah-rempah. Aspergillus ochraceus dan Penicillium vaerrucosum dapat tumbuh pada bulir tanaman serealia yang disimpan dalam suhu ≥ 15°C dan kelembaban antara 15-19%. Produksi okratoksin oleh jamur tersebut dapat terjadi pada pH 5,5 dengan adanya zat besi, tembaga dan zink. Kontaminasi toksin ini dipengaruhi oleh kondisi saat pemanenan dan pasca panen produk pertanian.
- Trichothecenes (Deoksinivalenol dan nivalenol)
Trichothecenes merupakan keluarga besar dari mikotoksin yang diproduksi oleh berbagai jenis jamur seperti Fusarium, Myrothecium, Trichoderma, Trichothecium, Cephalosporium, Verticimonosporium dan Stachybotyrys. Salah satu tipe penting dari mikotoksin ini adalah tipe B seperti deoxynivalenol dan nivalenol yang diproduksi oleh jamur dari genus Fusarium terutama Fusarium graminearum. Paparan dari trichothecenes dapat menyebabkan mual, muntah, pendarahan dan dermatitis hingga leukopenia.
Deoksinivalenol dan nivalenol dapat mengontaminasi produk serealia yang merupakan bahan makanan pokok. Beberapa makanan pokok yang pernah tercemar deoxinivalenol adalah barley, sorghum dan gandum. Adapun makanan pokok yang dapat menjadi sumber cemaran dari nivalenol adalah gandum, jagung, barley, oat dan gandum hitam (rye).
- Zearalenone
Zearalenone merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh beberapa spesies jamur dari genus Fusarium. Jamur utama yang memproduksi zearalenone adalah Fusarium graminearum. Selain itu, terdapat pula F. culmorum, F. verticilliodes, F. sporotrichioides, F. semitectum, F. equiseti, dan F. oxysporum yang diketahui dapat memproduksi zearalenone.
Fusarium verticilliodes yang tumbuh pada jagung (https://repository.up.ac.za/handle/2263/8460)
Paparan zearalenone berpengaruh pada beberapa hewan dan manusia. Zearalenone dapat berpengaruh pada sistem reproduksi yang dapat mengakibatkan hiperestrogenism. Hal ini disebabkan zearalenone dan beberapa metabolitnya dapat mengikat reseptor estrogen.
Zearalenone dapat ditemukan pada berbagai komoditas serealia seperti gandum, barley, jagung, beras dan sorghum. Akan tetapi, komoditas yang paling sering tercemar adalah jagung. Produksi dari mikotoksin ini baik terjadi pada lingkungan dengan suhu rendah dan kelembaban tinggi. Zearalenone merupakan mikotoksin yang cukup stabil. Mikotoksin ini stabil selama penyimpanan, prosesing hingga saat pengolahan. Zearalenone tidak terdegradasi pada temperatur tinggi.
- Fumonisin
Fumonisin adalah kelompok mikotoksin yang diproduksi oleh jamur dari genus Fusarium terutama Fusarium verticilliodes, F. proliferatum, F. anthophilum dan F. nygamai. Fumonisin sendiri terbagi menjadi fumonisin B1, B2, B3 dan B4. International Agency for Research on Cancer (IARC) menggolongkan fumonisin ke dalam kelompok yang mungkin bersifat karsionogenik bagi manusia. Dari ke-empat jenis tersebut, yang bersifat karsinogenik adalah fumonisin B1 dan B2. Fumonisin B1 diketahui karsinogenik bagi rodensia tetapi efek pada manusia belum diketahui.
Fumonisin sering ditemukan pada jagung dan produk turunannya. Selain itu, fumonisin dilaporkan terdeteksi pada kacang-kacangan, mie gandum, kare dan bir. Jamur yang memproduksi fumonisin kerap ditemukan saat komoditas masih ditanam di lahan pertanian. Meskipun demikian, terkadang sintesis toksin baru terjadi saat penyimpanan produk.
Selain mikotoksin yang disebutkan di atas, terdapat beberapa mikotoksin lain yang dapat mencemari produk pertanian. Detail mengenai mikotoksin lainnya terdapat dalam tabel berikut:
Mikotoksin
|
Komoditas
|
Jamur yang memproduksi |
Toksisitas
|
Citreoviridin |
Serealia |
Penicillium viridicatum |
Cardiac beri-beri |
Citrinin
|
Jagung, beras, gandum, barley, gandum hitam |
Penicillium vindicatum |
Nefrotoksin
|
Penicillium citrinum |
|||
Cyclochlorotine |
Beras, gandum, kacang-kacangan |
Penicillium islandicum |
Hepato toksin |
Cytochalasin E |
Gandum, barley |
Aspergillus clavatus |
Sitotoksisitas (toksik bagi sel) |
Patulin |
Buah, sayuran, serealia |
Penicilliumc-expansum |
Pendarahan otak dan paru-paru serta karsinogenik |
Penicillium patulum |
|||
Rubratoxin |
Jagung |
Penicillium rubrum |
Perdarahan hati dan infiltrasi lemak |
Sterigmatocystin
|
Gandum, barley, oat, beras, kacang-kacangan |
Aspergillus flavus |
Hepato karsinogen
|
Aspergillus versicolor |
- Pencegahan
Pencegahan timbulnya mikotoksin terdiri dari tiga level yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer dilakukan agar fungi tidak tumbuh pada produk pertanian. Pencegahan primer merupakan pencegahan yang paling krusial karena jika pencegahan ini gagal, fungi dapat menginfeksi tanaman dan menghasilkan mikotoksin pada produk pertanian.
Pencegahan sekunder dilakukan saat fungi sudah mulai menginfeksi pada tahap awal. Pencegahan sekunder dilakukan supaya fungi yang sudah terlanjur tumbuh bisa dihambat atau dimatikan. Adapun pencegahan tersier adalah pencegahan ketika fungi sudah menginfeksi produk. Pencegahan tersier dilakukan agar toksin tidak menyebarluas ke produk lainnya. Berikut adalah cara pencegahan primer, sekunder dan tersier.
1. Pencegahan Primer
- Penggunaan varietas resisten jamur penyebab mikotoksin
- Mengendalikan infeksi jamur pada tanaman di lahan
- Membuat jadwal pra-panen, panen dan pasca panen yang sesuai
- Menurunkan kadar air benih tanaman, setelah panen dan saat penyimpanan
- Menyimpan produk pada temperatur rendah
- Penggunaan fungisida dan preservatif yang diperbolehkan oleh regulasi
2. Pencegahan Sekunder
- Menghentikan pertumbuhan jamur dengan mengeringkan kembali produk
- Pembuangan benih yang terkontaminasi
- Inaktivasi atau detoksifikasi produk yang terkontaminasi
- Melindungi produk yang disimpan dari kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan jamur
3. Pencegahan Tersier
- Destruksi keseluruhan produk yang terkontaminasi
- Detoksifikasi atau destruksi mikotoksin hingga level paling minimal
- Pengaruh Kontaminasi Mikotoksin bagi Komoditas Pertanian
Pangan yang terkontaminasi mikotoksin dapat menimbulkan efek buruk bagi kesehatan manusia. Jika kontaminasi mikroorganisme pada pangan memberikan reaksi jangka pendek bagi manusia yang mengonsumsinya, kontaminasi mikotoksin umumnya memberikan reaksi jangka panjang. Seperti yang tertera pada penjelasan maupun tabel di atas, beberapa mikotoksin dapat bersifat karsinogenik jika terakumulasi dalam jumlah tertentu dalam tubuh manusia.
Selain membahayakan kesehatan, kontaminasi mikotoksin juga berdampak pada perekonomian. Produk-produk pertanian yang mengandung mikotoksin dengan jumlah di atas ambang batas regulasi tentunya tidak dapat masuk ke pasar global karena tidak memenuhi standar keamanan pangan. Hal ini tentunya merugikan petani dan perekonomian karena menurunkan daya saing produk pertanian.
Supaya tidak menimbulkan dampak bagi kesehatan maupun perekonomian, timbulnya mikotoksin dapat kita cegah dengan budidaya tanaman yang baik dan tata cara pencegahan seperti yang telah diuraikan di atas. Selain itu, kita perlu memahami regulasi mengenai mikotoksin baik regulasi di tingkat internasional maupun Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga lebih sadar akan pentingnya pencegahan timbulnya mitoksin dan jamur penyebabnya. Memahami regulasi menjadi penting apabila pelaku usaha pertanian ingin memperluas pemasaran produknya terutama pada pelaku usaha ekspor. Dengan pencegahan dan pemahaman tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk pertanian yang lebih sehat, aman dan bebas mikotoksin.
Penulis: Zulfa Rosyidhana, S.P. (Pengawas Mutu Hasil Pertanian Ahli Pertama, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY)
Referensi:
Ika. 2015. Kontaminasi aflatoksin masih mengancam produk pangan Indonesia. <https://ugm.ac.id/id/berita/10476-kontaminasi-aflatoksin-masih-mengancam-produk-pangan-indonesia>. Diakses pada 17 Desember 2020.
Pestka, J.J. 2010. Toxicological mechanism and potential health effect of deoxynivalenol and nivalenol. Wageningen Academic Publisher. 3: 323-347
Suttajit, M. Prevention and Control of Mycotoxin. Tanpa Tahun. <http://www.fao.org/3/x5036e/x5036e0q.htm>. Diakses pada 2 November 2020
Tola, M. dan B. Kebede. 2016. Occurrence, importance and control of mycotoxins: A review. Cogent Food & Agriculture. 2: 1-12
Yazar, S. dan G.Z. Omurtag. 2008. Fumonisins, trichothecenes and zearalenone in cereals. International Journal of Molecular Sciences. 9: 2062-2090