Yogyakarta (03/11/2020) jogjaprov.go.id - Sekolah Lapang Iklim yang diinisiasi oleh BMKG telah terbukti bermanfaat bagi para petani. Pelaksanaan SLI di Gunungkidul pun kini telah memasuki tahap ketiga. Melihat manfaat yang dihasilkan, Gubernur DIY memberikan dukungannya bagi pelaksanaan SLI.
Dalam sambutannya saat membuka FGD Sekolah Lapang Iklim Operasional Kabupaten Gunungkidul pada Selasa (03/11), Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, dulu para petani tradisional dalam menentukan masa tanam selalu mengandalkan pranata mangsa, atau perhitungan iklim berdasarkan ilmu titen yang turun temurun.
“Tapi kini setelah terjadinya anomali iklim yang sulit diprediksi, cara-cara lama itu sulit untuk digunakan lagi. Contohnya, masa tanam padi akan dilakukan pada mangsa kalima atau Oktober dan awal November, saat diperkirakan mulainya musim hujan,” ujar Sri Sultan yang mengikuti acara secara virtual dari Gedhong Pracimasana, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta.
Sri Sultan mengungkapkan, dengan cara-cara tradisional, ada pula petani yang menanam sebelum masa hujan tiba yang lazim disebut ngawu-awu. Bagi yang beruntung, tanaman akan berkembang baik, tapi jika tidak ada hujan akan berisiko mati, hingga justru hanya membuang-buang bibit dan mengakibatkan kerugian besar bagi petani.
“Dalam upaya turut membantu menghindari dampak dari salah mangsa, Kepala BMKG menginisiasi pendirian SLI yang ketiga di Gunungkidul, dengan memilih lokasi di Kelurahan Ngalang, Kapanewon Gedangsari. Petani jadi tetap bisa menggunakan ilmu titen, didampingi teknologi perkiraan cuaca oleh BMKG,” papar Sri Sultan.
Menurut Sri Sultan, Kalurahan Ngalang menjadi pilihan tepat sebagai lokasi SLI karena masyarakatnya memiliki kesadaran dan kepedulian sosial yang tinggi. Bagi Sri Sultan, Gedangsari cukup berkesan karena warganya telah menyatakan mundur dari Program Keluarga Harapan (PKH), termasuk jenis batuan lain.
Ditambahkan Sri Sultan, SLI adalah sekolah lapang di alam terbuka agar petani mampu membaca kondisi iklim untuk budidaya pertanian spesifik lokasi. Tujuannya agar meminimalisir penurunan produksi dari kemungkinan dampak iklim ekstrim seperti banjir atau kekeringan. Kurikulumnya pun disusun dalam satu musim tanam menurut pedoman umum SLI dari Kementerian Pertanian 2010. Konsekuensinya, secara manajerial perlu sinergi antara BMKG dengan Kementan RI.
“Sesungguhnya kehadiran BMKG ini, selain untuk mengantisipasi bencana hidrometeorologi, juga bisa memberi masukan dan pengadaan tanaman untuk konservasi air agar mata air tetap terjaga. Untuk itu, diperlukan penanaman pohon produktif yang bisa melindungi sumber mata air dan jenis tanaman yang bisa menjaga stabilitas tanah, serta mencegah erosi dan longsor,” ungkap Sri Sultan.
Sementara itu, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan, pelaksanaan SLI ini bertujuan untuk melakukan literasi terkait cuaca dan iklim bagi para petani. Dengan memiliki pengetahuan tentang cuaca dan iklim, diharapkan para petani mampu meningkatkan produksi atau hasil pertaniannya.
“Dengan SLI, telah terbukti terjadi peningkatan produksi pertanian antara 10-30% di Gunungkidul. Apalagi saat ini hampir seluruh wilayah di Indonesia sedang mengalami La Lina hingga mampu mempengaruhi antara 20-40% untuk sektor pertanian. Untuk itu, SLI penting diadakan,” imbuhnya.
Kegiatan ini dihadiri pula oleh Kepala Bank Indonesia Perwakilan DIY, Hilman Tisnawan di lokasi SLI dan Kepala Pelaksana BPBD DIY, Biwara Yuswantana yang mendampingi Gubernur DIY di Kepatihan, Yogyakarta. (Rt)
Sumber: HUMAS PEMDA DIY