Beras merah adalah biji-bijian serealia yang berwarna merah. Beras merah merupakan komoditas pangan yang berfungsi sebagai alternatif makanan utama di masyarakat. Sebagai komoditas pangan, ijin edar yang digunakan untuk beras merah hanya sebagai bahan pangan bukan sebagai produk obat. Namun, seringkali tim OKKPD menjumpai klaim kesehatan yang dicantumkan pada kemasan produk beras merah ini saat melakukan pengawasan di pasaran. Beberapa klaim kesehatan yang dijumpai meliputi:
1. Indeks Glikemik rendah
Indeks glikemik (IG) merupakan suatu ukuran yang dikembangkan untuk mengklasifikasikan pangan berkarbohidrat berdasarkan pengaruh fisiologisnya terhadap kadar glukosa darah atau dengan kata lain Indeks Glikemik (IG) adalah suatu ukuran yang digunakan untuk mengindikasikan seberapa cepat karbohidrat yang terdapat dalam makanan dapat diubah menjadi gula oleh tubuh manusia. Faktor–faktor yang mempengaruhi IG beras diantaranya adalah jenis/varietas beras, proses pengolahan, dan perbandingan amilosa dan amilopektin. Banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkatan IG menyebabkan klaim terkait hal tersebut perlu adanya pembuktian secara jelas baik dengan melakukan pengujian secara in vitro (laboratorium) maupun uji klinis ke konsumen secara langsung. Oleh karena itu, klaim terkait rendahnya IG tidak boleh dicantumkan sembarangan di kemasan pangan apabila belum ada bukti pendukung pengujiannya.
2. Menurunkan resiko penyakit diabetes
Beras merah sering di klaim sebagai pangan yang dapat menurunkan resiko penyakit diabetes karena kandungan seratnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan beras putih. Namun hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai patokan karena menurunnya resiko penyakit diabetes tidak hanya tergantung pada konsumsi beras merah saja, dan cara pengolahan juga akan mempengaruhi kandungan serat pada beras merah ketika akan dikonsumsi.
3. Menurunkan kelebihan berat badan
Beras merah kini semakin populer di kalangan masyarakat sebagai pangan yang digunakan untuk diet dan pola makan sehat karena kandungan gizinya yang lebih baik daripada beras putih. Namun perbedaan kandungan gizi ini kurang signifikan sehingga pengaruhnya pun akan kurang terlihat ketika dikonsumsi. Disamping itu, penggunaan beras merah sebagai pangan untuk diet juga harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan ahli gizi karena kebutuhan gizi masing-masing orang berbeda dan konsumsi pangan yang tidak tepat akan memberikan efek samping negatif terhadap kesehatan seseorang.
4. Bebas kolesterol
Masih ditemukan klaim bebas kolesterol pada kemasan beras merah di pasaran. Klaim tersebut kurang tepat penggunaannya karena produk pangan khususnya serealia tidak mengandung kolesterol sehingga tidak perlu ada klaim tersebut pada kemasannya.
5. Meningkatkan produksi ASI pada ibu menyusui
Klaim meningkatkan produksi asi pada ibu menyusui juga ditemukan pada kemasan beras merah di pasaran. Konsumsi beras merah mampu mencukupi kebutuhan kalori ibu menyusui, namun untuk meningkatkan produksi asi harus dipastikan terlebih dahulu dengan uji klinis terhadap ibu menyusui yang merupakan konsumen rutin beras merah karena penelitian terkait hal tersebut masih sedikit dan belum dapat dijadikan sebagai acuan.
6. Menurunkan resiko penyakit jantung dan kanker
Kandungan gizi yang terdapat dalam beras merah cukup baik. Namun sebagai bahan pangan, beras merah tidak boleh dilabeli sebagai produk dengan khasiat obat untuk penyakit tertentu.
Berbagai khasiat obat yang dicantumkan pada produk pangan merupakan suatu pelanggaran terhadap ijin edar yang juga pelanggaran terhadap peraturan terkait label dan iklan pangan. Berdasarkan Pasal 6 dan 7 Peraturan Pemerintah RI Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, pencantuman tentang manfaat pangan bagi kesehatan dalam label hanya dapat dilakukan apabila didukung oleh fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, dan pada label pangan dilarang mencantumkan keterangan dalam bentuk apapun yang menyebutkan bahwa pangan tersebut dapat berfungsi seperti obat bagi konsumennya. Hal tersebut berarti bahwa keterangan kandungan gizi dan manfaat pangan yang akan dicantumkan pada label harus didukung dengan hasil uji laboratorium dan uji klinis yang dapat dipertanggungjawabkan, dan klaim terkait khasiat obat tidak boleh dicantumkan pada label pangan. Oleh karena itu, OKKPD selalu menyampaikan pada para pelaku usaha dan juga masyarakat secara luas, bahwa produk pangan bukanlah produk obat, sehingga pencantuman khasiat obat pada produk pangan merupakan tindakan yang tidak benar.
Penulis:
Noer Hardyasti, S.P. (Pengawas Mutu Hasil Pertanian Pertama DPKP DIY)
Referensi:
Unupurwokerto.ac.id, "PERSPECTIVE-TEKNOLOGI PANGAN: MENGENAL INDEKS GLIKEMIK UNTUK KONSUMSI PANGAN SECARA SEHAT", 4 Juli 2020, https://unupurwokerto.ac.id/perspective-teknologi-pangan-mengenal-indeks-glikemik-untuk-konsumsi-pangan-secara-sehat/#:~:text=Indeks%20Glikemik%20(IG)%20adalah%20suatu,menjadi%20gula%20oleh%20tubuh%20manusia, [diakses pada 1 Juni 2022]
Septianingrum, E., Liyanan., Kusbiantoro, B. 2016. Review Indeks Glikemik Beras: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dan Keterkaitannya terhadap Kesehatan Tubuh. JURNAL KESEHATAN Vol. 1, No. 1, Juni 2016: 1-9. https://journals.ums.ac.id/index.php/jk/article/view/3434/2174. Diakses pada 1 Juni 2022.
Pratiwi, V. N., Astuti, M., Murdiati, A. 2018. Efek Pemberian Diet Beras Merah Dan Beras Putih Prapemasakan Terhadap Kadar Total Kolesterol, Trigliserida, Dan Berat Badan Tikus Hiperglikemia. JURNAL TEKNOLOGI PANGAN Vol. 12 No. 2 Desember 2018: 17-23. http://ejournal.upnjatim.ac.id/index.php/teknologi-pangan/article/view/1285/1076#. Diakses pada 1 Juni 2022.
Peraturan Pemeritah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan
Sumber gambar: liputan6.com