Semakin berkembangnya pengolahan produk perkebunan membuat persaingan khususnya komoditas lada di pasaran semakin kompetitif. Peningkatan kepedulian konsumen terhadap keamanan produk pangan menyebabkan persyaratan yang diminta konsumen semakin ketat terutama dalam hal jaminan mutu, aspek kebersihan, dan kesehatan. Aspek pengawasan mutu produk tentunya harus menjadi perhatian utama oleh para pihak yang terkait sebab bila diabaikan akan menyebabkan kendala dalam perdagangan. Oleh karena itu perlu dilakukan peninjauan pada aspek jaminan mutu khususnya pada titik-titik kritis dalam rantai penanganan mutu lada. Diharapkan dengan upaya tersebut dapat meningkatkan ataupun memperbaiki mutu produk lada hitam.
Sebagian besar lada di Indonesia diekspor ke Amerika dan Eropa. Sejalan dengan meningkatnya penggunaan rempah, perhatian terhadap keamanan pangan dan kebersihan meningkat. Negara-negara industri cenderung memperketat aturan dan pengawasan terhadap kebersihan dan kontaminasi pada rempah. Walaupun kontaminasi mikroba yang paling diperhatikan, kontaminasi kimia dan pestisida juga termasuk di dalamnya (Dolev, 1999)
Menghadapi keadaan tersebut di atas, keterpaduan antara teknologi budidaya dan pengolahan hasil perlu ditingkatkan karena mutu produk tidak saja ditentukan oleh pengolahan tetapi juga oleh faktor budidaya atau kondisi pertanaman. Kontrol terhadap mutu perlu dilakukan dengan pendekatan analisa bahaya dan pengendalian titik kritis atau “Hazard Análisis Critical Control Point (HACCP)”. Pendekatan ini melibatkan semua unsur mulai dari tingkat petani, pengolah, pedagang, eksportir, lembaga penelitian dan pemerintah pusat dan daerah.
Pada tiap tahapan memiliki titik kritis yang memungkinkan adanya kontaminasi dari cemaran fisik, kimia maupun biologi. Baik dari tingkat petani sampai di tingkat pedagang/pengepul atau pedagang/eksportir harus menerapkan Praktek Penanganan yang Baik/Good Handling Practices (GHP) secara konsisten karena titik-titik kritis tersebut berkorelasi dengan mutu dan keamanan produk akhir.
Skema pengolahan lada di tingkat petani secara mekanis (Nurdjanah, 2006):
Masalah utama yang sering dikeluhkan oleh importir rempah Eropa terhadap produk lada Indonesia yaitu tingginya kadar kotoran dan kontaminasi mikroorganisme (Putro, 2001).Di tingkat petani yang perlu ditinjau titik kritisnya yaitu memastikan kebersihan sarana dan prasarana seperti mesin-mesin,tempat jemur/mesin pengering serta jenis kemasan. Karena dititik-titik itu memungkinkan terjadinya kontaminasi pada lada berupa debu, tanah, batu-batu kecil, rambut, kotoran hewan peliharaan, tangkai, lada enteng (lada yang tidak bernas), atau organisme yang tidak diinginkan.
Skema penanganan mutu lada di tingkat pengepul adalah sebagai berikut (Ditjen Perkebunan, 2020) :
Sedangkan titik kritis di tingkat penerimaan dari pekebun yaitu (Ditjen Perkebunan, 2020) :
- Memastikan tempat penerimaan bersih, terpisah dengan tempat penyimpanan/pengemasan lada;
- Memastikan kadar air lada hitam ≤ 12% dan lada putih ≤ 12%;
- Memastikan lada yang diterima berkualitas baik (bebas jamur dan cemaran);
- Menggunakan timbanagan dan alat ukur kadar air yang telah dikalibrasi secara rutin.
Titik kritis pada tingkat sortasi dan grading yang perlu ditinjau adalah memastikan kebersihan alat; serta memastikan biji lada bersih terpisah dari sisa kulit, ranting, kotoran, debu, benda asing lainnya dan biji lada rusak.
Peninjauan perlu juga dilakukan di titik kritis pada pengemasan, pelabelan dan penyimpanan yaitu :
- Memastikan wadah/kemasan bersih bukan bekas pakan ternak/pupuk/pestisida/komoditas perkebunan lain, berbahan PE/PVC;
- Memastikan ruang pengemasan/penyimpanan bersih;
- Memastikan kemasan tidak langsung menyentuh dinding dan lantai.
Kemudian titik kritis pada pengiriman yang perlu ditinjau, antara lain memastikan truk/alat angkut bersih, kering dan bebas kontaminan (bahan kimia); serta memastikan bagian atas truk/alat angkut terlindung dari hujan.
Disamping hal-hal yang sudah disebutkan di atas, aspek sanitasi dan kebersihan baik kebersihan lingkungan, sarana prasarana, petugas dan produk memiliki titik kritis perlu dipastikan bahwa program kebersihan tertib dilaksanakan secara periodik (harian/mingguan/bulanan). Aspek pencatatan dan identifikasi/penomeran wadah/kemasan sebagai dasar ketertelusuran yang belum dilaksanakan secara konsisten merupakan titik kritis juga.
Diharapkan dengan adanya peninjauan titik-titik kritis pada rantai penanganan mutu lada dapat menjadi pemecah permasalahan rendahnya mutu lada yang dihasilkan di Indonesia. Pada akhirnya ke depannya dapat meningkatkan nilai ekonomi dan daya saing lada Indonesia di pasar dunia.
Penyusun : Dian Iswidiastuti, S.P., Pengawas Mutu Hasil Pertanian Muda DIY.
Referensi :
Direktorat Jendral Perkebunan. 2020. Standar Operasional Prosedur (SOP) – Penanganan Mutu Lada di Tingkat Pengumpul. Jakarta
Dolev, S., 1999. Market situation of pepper in USA. International Pepper News Bulletin. 23 (3-4):79-81
Nurdjanah, N. 2006. Perbaikan Mutu Lada Dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing di Pasar Dunia. Perspektif. 5 (1) : 13 – 25
Putro, S., 2001. Peluang pasar rempah Indonesia di Eropa. Prosiding Simposium Rempah Indonesia. Kerjasama Masyarakat Rem-pah Indonesia (MaRI) dengan Puslit-bangbun, Jakarta, 13 – 14 September 2001. Hlm 25 – 32.