Kakao merupakan salah satu jenis tanaman penyegar yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Areal kakao tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan sentra-sentra produksi berada di wilayah Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah.
Pengusahaan kakao tersebut akan menggerakkan perekonomian berbasis masyarakat pedesaan dengan beberapa keunggulan komparatif dibandingkan komoditas perkebunan lainnya sehingga dinilai akan sangat strategis untuk meningkatkan kesejahteraan petani, khususnya di kawasan daerah tertinggal. Kakao pertama kali didatangkan ke Indonesia Tahun 1560 oleh bangsa spanyol yang mendatangkan kakao jenis Criollo Venezuella di Sulawesi.
Pengembangan kakao secara intensif baru dilakukan pada awal abad 19 yang ditandai dengan kegiatan seleksi klon kakao mulia di kebun Djati Roenggo Tahun 1912. Selanjutnya dilakukan pengembangan kakao jenis lindak sejak awal Tahun 1980-an yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia.
Perkembangan kakao di Daerah Istimewa Yogyakarta dimulai dari tahun 1987 – 1988 melalui Program Bantuan Presiden (Banpres) yang berlokasi di Gunungkidul dengan luas 2000 Ha. Selanjutnya program Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus (P2WK) masuk pada tahun 1990 – 1993. Berbagai fasilitasi dari pemerintah dianggarkan guna pengembangan kakao di wilayah DIY.
Pada tahun 1998 melalui kegiatan pengembangan dana APBD seluas 30 ha di Patuk, Gunungkidul dilanjutkan Gerakan Nasional (Gernas) intensifikasi 200 ha dan Gernas peremajaan 100 ha di tahun 2011. Dalam perkembangannya, dukungan pemerintah dalam perluasan lahan kakao diimplementasikan dengan adanya kebijakan program perluasan lahan dan peremajaan tanaman kakao yang dicanangkan sejak tahun 2011. Selain bantuan benih, pemerintah memberikan fasilitasi yang terkait dengan pengembangan tanaman kakao mulai dari penyiapan saprodi, budidaya, panen, pengolahan dan pemasaran serta Sekolah lapang yang dibutuhkan oleh petani. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk terus mendorong kegiatan pengembangan kakao di D.I Yogyakarta.
Selanjutnya program pemerintah yang dilakukan untuk terus meningkatkan pembangunan perkebunan kakao di DIY dilakukan dengan Pengembangan Model Desa Kakao. Model desa kakao merupakan klaster agribisnis perkebunan dengan komoditas kakao yang diproduksi hingga produk olahan berstandar, terintegrasi dengan komoditas lain sebagai tanaman penaung dan tanaman sela yang produktif, ternak sebagai bagian dari solusi pengolahan limbah serta mempunyai nilai tambah wisata di dalamnya. Lokasi Pengembangan Model Desa Kakao ini di Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo.
Saat ini kakao merupakan salah satu komoditas yang penting di DIY. Lahan perkebunan kakao merupakan terluas ketiga setelah kelapa dan jambu mete yaitu mencapai 5.117,13 Ha tersebar di 4 kabupaten namun sebagian besar berlokasi di Kulon Progo (3.616,97 Ha) dan Gunungkidul ( 1.373,5 Ha). Hampir seluruh pertanaman kakao dikelola oleh petani.
Salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan kakao tersebut yaitu adanya dukungan ketersediaan bahan tanam unggul dan bermutu. Bahan tanam kakao dapat dikembangkan secara vegetatif maupun generatif.
Perbanyakan kakao secara generatif menggunakan bahan tanam berupa biji bersumber dari kebun benih yang telah diketahui kedua tetuanya dan bersertifikat. Perbanyakan kakao secara vegetatif (klonal) dapat dilakukan dengan cara okulasi, setek, sambung samping dan kultur jaringan (in vitro) dengan sumber mata tunas klon-klon unggul yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Sebagai upaya pemerintah untuk menjamin ketersediaan benih entres kakao unggul di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor. 91/Kpts/KB.020/7/2019 Tanggal 2 Juli 2019 Tentang Penetapan Kebun Entres Kakao Varietas Sulawesi 01 dan Varietas ICCRI 03 di Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kebun entres kakao tersebut milik Balai Pengembangan Perbenihan dan Pengawasan Mutu Benih Tanaman Pertanian (BPPPMBTP) Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY sebanyak 235 batang varietas Sulawesi 01 dengan potensi poduksi 25.380 entres/tahun dan sebanyak 277 batang varietas ICCRI 03 dengan potensi poduksi 22.437 entres/tahun, terletak di Kebun Potrobayan, Srihardono, Pundong, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Deskripsi Varietas Sulawesi 01
SK. Nomor : 1694/Kpts/SR.120/12/2008 Tanggal 12 Desember 2008.
Asal Varietas |
: |
Kebun PT Hasfarm Product di Pinang Manis, Tenggarong, Kalimantan Timur secara morfologis serupa dengan koleksi Pusat Penelitian Kopi dabn Kakao Indonesia. |
|||||
Habistus Tajuk |
: |
Sedang, percabangan intensif sehingga tampak rimbun. |
|||||
Laju Pertumbuhan |
: |
Cepat |
|||||
Sifat percabangan |
: |
Agak tegak (semi vertikal) |
|||||
Bentuk daun |
: |
Obovate, ukuran sedang |
|||||
Warna daun |
: |
Daun muda berwarna merah cerah Daun tua hijau tua, permukaan bergelombang dengan tulang-tulang daun tampak jelas. |
|||||
Warna tangkai bunga |
: |
Merah muda |
|||||
Buah |
|
|
|||||
Bentuk |
: |
Oblong, ukuran besar |
|||||
Panjang |
: |
20,5 cm. |
|||||
Lilit |
: |
25,8 cm |
|||||
Jumlah buah/pohon |
: |
49,6 |
|||||
Warna |
: |
Buah muda berwarna merah tua dan buah masak berwarna kuning kemerah-merahan |
|||||
Sifat pembuahan |
: |
Berbuah terus menerus sepanjang tahun |
|||||
Ketahanan terhadap OPT |
|
|
|||||
VSD |
: |
Tahan |
|||||
Penggerek Buah Kakao |
: |
Tahan |
|||||
Kesesuaian Wilayah Pengembangan |
: |
Kondisi lingkungan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dengan ketinggian tempat maksimal 900 meter dari permukaan laut. |
|||||
|
|
||||||
|
|
||||||
Deskripsi Varietas ICCRI 03
SK. Nomor : 530/Kpts/SR.120/09/2006 Tanggal 25 September 2006.
Asal Varietas |
: |
DR 2 x Sca. |
|||||
Habistus Tajuk |
: |
Merata, kokoh |
|||||
Laju Pertumbuhan |
: |
Sedang |
|||||
Bentuk daun |
: |
Elip |
|||||
Warna daun |
: |
Daun muda berwarna merah kekuningan Daun tua hijau tua |
|||||
Warna bunga |
: |
Hijau |
|||||
Penyerbukan |
: |
Menyerbuk silang secara umum dan mampu menyerbuk sendiri |
|||||
Buah |
|
|
|||||
Bentuk |
: |
Agak bulat |
|||||
Panjang |
: |
19,37 + 0,86 cm. |
|||||
Lebar |
: |
9,48 + 0,29 cm |
|||||
Warna |
: |
Muda berwarna merah dan buah masak berwarna orange |
|||||
Ketahanan terhadap OPT |
|
|
|||||
Helopeltis Sp. |
: |
Tahan |
|||||
Busuk buah |
: |
Tahan |
|||||
Kesesuaian Wilayah Pengembangan |
: |
Tipe tanah Alfisol, Ultisol, Incepttiol, ketinggian tempat maksimal 0 - 600 meter dari permukaan laut, kesesuaian lahan khususnya di daerah jawa Timur. |
|||||
|
|
||||||
|
Balai Pengembangan Perbenihan dan Pengawasan Mutu Benih Tanaman Pertanian (BP3MBTP).
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY.
Jl. Gondosuli no. 6 Yogyakarta 55165 Telp/Fax (0274) 566687
E-Mail : bpppbtp@gmail.com
Ditulis Oleh : Supandi, SP.
Pengawas Benih Tanaman Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY