Pangan adalah hal esensial yang dibutuhkan oleh manusia. Tercukupinya kebutuhan pangan nasional perlu dicapai agar tidak terjadi kelaparan dan tercipta kemandirian pangan. Untuk mencukupi kebutuhan pangan khususnya makanan pokok, pemerintah terus menggalakkan peningkatan produksi. Di samping peningkatan produksi, salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah manajemen terhadap susut hasil.
Manajemen terhadap susut hasil perlu dilakukan untuk mencegah susut hasil yang terlalu besar. Menurut World Food Program (WTP), pada tahun 2010, sekitar 31% makanan yang diproduksi di dunia mengalami kehilangan atau menjadi sampah makanan. Jumlah tersebut setara dengan 1,3 miliar ton pangan. Di Indonesia sendiri, susut hasil padi kerap terjadi pada setiap rantai pasok terutama saat panen, pengeringan dan penggilingan. Menurut Badan Pusat Statistik (2007), susut total padi dapat mencapai 11,27%. Nilai tersebut terbagi menjadi 1,57% pada saat panen; 0,98% pada saat perontokan; 3,59% pada saat pengeringan; 3,07% pada saat penggilingan; 1,68% pada saat penyimpanan dan 0,39% pada saat pengangkutan. Oleh karena itu, pencegahan atau manajemen terhadap susut hasil perlu dilakukan di setiap tahapan.
Panen
Ketepatan waktu merupakan hal yang penting dalam panen. Pemanenan yang dilakukan terlalu awal dan terlalu akhir dapat menyebabkan kehilangan hasil. Jika padi dipanen terlalu awal, butiran padi masih belum masak, sehingga mengakibatkan bulir patah yang lebih banyak. Pemanenan padi yang terlambat dapat mengakibatkan tanaman terekspos hama seperti serangga, tikus dan burung. Keterlambatan panen satu minggu dapat meningkatkan susut panen dari 3,35% menjadi 8,65%. Waktu panen yang baik adalah ketika padi mencapai umur panennya. Umur panen padi sendiri berbeda pada setiap varietasnya. Umur panen dapat ditentukan dengan melihat kenampakan padi di hamparan sawah. Umur panen optimal padi dicapai setelah 90-95% butir gabah pada malai padi berwarna kuning atau kuning keemasan.
Selain waktu, metode pemanenan dan alat perontokan juga berpengaruh terhadap kehilangan hasil pada saat panen. Biasanya panen dilakukan secara berkelompok. Menurut Nugraha (2012), jumlah anggota kelompok panen mempengaruhi susut hasil panen. Semakin banyak anggota kelompok panen, semakin besar pula susut hasilnya. Dalam luasan 1 Ha, susut hasil mencapai 9,9% ketika dipanen oleh 50 orang dan menjadi 4,39% ketika dipanen oleh 20 orang. Hal ini dapat terjadi karena sistem panen secara keroyokan membuat pekerja berebut mendapatkan hasil yang lebih banyak, sehingga terjadi banyak ceceran (susut saat panen) dan kehilangan hasil saat penumpukan (susut penumpukan sementara).
Perontokan Padi
Perontokan padi dapat dilakukan dengan alat perontok dengan cara umpan pegang (hold-in) dan umpan langsung (through in). Perontokan padi dengan cara hold-in menggunakan pedal thresher atau power thresher untuk merontokan padi yang dipanen dengan cara potong bawah. Adapun perontokan padi dengan cara through in menggunakan power thresher untuk merontokan padi yang dipanen dengan cara potong atas atau potong tengah.
Menurut Nugraha (2012), perontokan dengan cara through in memberikan harapan besar dalam menekan susut panen dan susut penumpukan sementara. Hal itu disebabkan padi yang dipanen dengan cara potong tengah atau atas langsung dimasukkan ke dalam karung sehingga dapat menekan susut pada penumpukan sementara sebanyak 2% dan susut pengangkutan sebanyak 1%. Selain itu, panen dengan cara through in menggunakan mesin power thresher. Perontokan padi menggunakan mesin power thresher mampu menekan susut perontokan dari 3,31-4,35% (dengan alat gebot) menjadi 0,49-1,21%.
Selain metode perontokan, waktu perontokan juga berpengaruh terhadap kehilangan hasil. Penundaan perontokan dapat menyebabkan kehilangan hasil karena gabah yang rontok pada saat perontokan, susut hasil karena hama pada saat penumpukan dan adanya reaksi enzimatis yang menyebabkan gabah cepat berkecambah, bulir menjadi kuning, berjamur dan rusak. Selain pada saat sebelum proses perontokan, penundaan juga berpengaruh terhadap susut hasil gabah, susut hasil beras dan penurunan rendemen giling karena adanya kerusakan pada gabah.
Pengeringan
Pengeringan adalah proses mengeluarkan air (sebagian atau seluruhnya) dari biji gabah. Pengeringan merupakan tahap yang penting untuk meminimalkan risiko susut pascapanen. Pengeringan mempengaruhi kualitas gabah saat penyimpanan, pengangkutan dan prosesing.
Seperti pada perontokan, keterlambatan pada pengeringan juga dapat menyebabkan susut hasil. Gabah yang terlambat dikeringkan dapat menyebabkan butir gabah busuk karena pertumbuhan mikroorganisme, berjamur, berkecambah dan reaksi enzimatis sehingga beras berwarna kuning kecoklatan. Hal itu disebabkan oleh kadar air yang masih tinggi pada gabah sebelum dikeringkan.
Pengeringan padi dapat dilakukan dengan cara manual dan mekanis menggunakan pengering buatan. Pengeringan manual (dijemur di bawah matahari maupun dengan naungan) merupakan cara yang banyak digunakan karena lebih ekonomis. Pada pengeringan manual susut hasil dapat terjadi saat penjemuran karena lantai jemur yang kurang baik sehingga banyak gabah yang tercecer dan terbuang dan gangguan hama seperti ayam dan burung. Untuk mengurangi susut hasil, pengeringan dengan sinar matahari harus memperhatikan intensitas sinar, suhu pengeringan dan frekuensi pembalikan. Pada pengeringan manual, suhu lebih sulit dikontrol sehingga terkadang penjemuran lebih cepat karena suhu yang terlalu tinggi. Penjemuran dengan suhu tinggi dan waktu yang cepat dapat membuat kekeringan dalam biji tidak merata sehingga dapat menyebabkan biji patah pada saat penggilingan. Selain itu, pengeringan yang berlebihan juga dapat menurunkan aroma pada beras aromatik. Pengeringan manual tanpa naungan membuat gabah rawan terkena air hujan yang dapat menimbulkan kerusakan pada gabah.
Pengeringan mekanis dapat dilakukan dengan berbagai jenis alat seperti bed dryer, vertical dryer maupun fluidized dryer. Penggunaan pengering mekanis memberikan hasil yang cukup baik dengan tingkat keretakan gabah yang lebih rendah, butir utuh yang lebih banyak dan susut hasil yang lebih sedikit dari pada pengering manual. Hal ini disebabkan suhu pengering, aliran udara panas dan laju penurunan kadar air dapat dikendalikan. Kelemahan dari mtode ini adalah biaya pembelian dan perawatan alat yang lebih mahal dari pada pengeringan mekanis.
Penyimpanan dan Pengangkutan
Penyimpanan gabah oleh petani biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu sistem curah dan menggunakan kemasan. Pada sistem curah biasanya gabah dimasukkan ke suatu tempat yang dianggap aman dari gangguan hama maupun cuaca seperti silo. Jika dalam kemasan, bisa digunakan wadah seperti karung plastik, karung goni dan lain-lain.
Susut hasil pada saat penyimpanan perlu diperhatikan karena pada saat itulah susut hasil terbesar pada supply chain. Susut hasil pada penyimpanan bisa disebabkan oleh kehilangan secara fisik dan kualitas. Kehilangan secara fisik disebabkan oleh ceceran gabah dan susut hasil karena hama. Adapun kehilangan secara kualitas bisa berupa rusaknya gabah (berlubang) dan perubahan fisik gabah seperti warna dan bau.
Penyebab kehilangan hasil pada penyimpanan dapat disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik dapat berupa hama serangga, tikus dan jamur. Adapun faktor abiotik dapat berupa suhu dan kelembaban. Faktor abiotik dan biotik ini saling berhubungan antara satu dengan lainnya.
Susut hasil karena pengaruh biotik seperti hama dapat dicegah dengan menjaga kebersihan dan pengendalian hama di penyimpanan yang baik. Adapun susut hasil karena jamur dapat dicegah dengan senantiasa memperhatikan suhu dan kelembaban penyimpanan dan gabah itu sendiri. Kebanyakan jamur tumbuh cepat pada suhu 20-40°C dan kelembaban ruangan lebih dari 70%. Dengan menjaga kelembaban ruangan di bawah 70%, dapat mencegah tumbuhnya jamur yang tidak hanya mengakibatkan susut hasil tetapi juga mengeluarkan mikotoksin yang membahayakan kesehatan. Pada penyimpanan secara tradisional di mana suhu dan kelembaba tidak bisa diatur, dapat dilakukan pengeringan gabah hingga kadar air 13-14% sebelum gabah disimpan. Kelembaban gabah di atas 16% menyebabkan masa simpan gabah menjadi pendek (beberapa minggu).
Selain dengan pengendalian lingkungan, penyimpanan gabah pada wadah yang kedap udara dapat mengurangi susut hasil dan penurunan kualitas. Pada wadah kedap udara, kadar air gabah tidak akan banyak mengurangi perubahan. Selain itu, penyimpanan dalam wadah mengurangi adanya ceceran beras saat pengangkutan.
Pengangkutan terjadi pada saat perpindahan gabah dari lahan ke gudang kemudian penggilingan dan pasar. Meskipun tidak sebanyak pada tahapan lain, pada pengangkutan susut hasil terjadi karena adanya ceceran gabah atau beras. Hal ini dapat dimimalkan dengan penggunaan wadah yang baik dan rapat sehingga menghindari adanya ceceran.
Penggilingan
Penggilingan adalah proses pengupasan gabah untuk menghasilkan beras dengan cara memisahkan lapisan lemma dan palea (sekam dan dedak) serta mengeluarkan biji beras. Proses pengeluaran biji beras dapat dilakukan secara tradisional maupun mekanis. Akan tetapi, saat ini lebih banyak digunakan penggilingan mekanis.
Penggilingan mekanis yang biasa digunakan di penggilingan kecil hingga menengah Indonesia terdiri dari dua tipe yaitu penggilingan 1 fase dan 2 fase. Pada penggilingan 1 fase, proses pemecahan kulit dan penyosohan menyatu. Adapun pada penggilingan 2 fase, proses pecah kulit dan penyosohan menggunakan mesin yang berbeda yaitu husker dan polisher. Penggilingan 2 fase menghasilkan rendemen yang lebih besar daripada 2 fase.
Penggilingan mekanis yang lebih modern adalah menggunakan rice milling unit (RMU). Proses penggilingan dilakukan dengan satu kali proses dari gabah menjadi beras. Di dalam mesin RMU sendiri, terdapat bagian mesin berfungsi untuk memecah kulit dan gabah dari sekam, mengeluarkan gabah yang belum terkelupas ke tahap awal, menyosoh dan mengumpulkan dedak, serta memilah beras berdasarkan keadaan fisik beras (beras utuh dan patah). Pada RMU, susut hasil lebih rendah daripada penggilingan 1 dan 2 fase. Meskipun demikian, biaya pembelian dan perawatan alat RMU lebih mahal.
Susut hasil pada tahap penggilingan biasanya disebabkan oleh banyaknya pengotor pada gabah, penyetelan mesin yang tidak tepat, dan kualitas gabah yang tidak baik. Penyetelan alat yang tidak tepat dapat menyebabkan gabah terlempar ke dalam sekam atau beras yang terbawa ke dalam dedak. Hal ini dapat menyebabkan rendemen giling rendah. Proses penyosohan yang tidak baik akan menghasilkan beras kusam dan presentase beras pecah yang tinggi.
Pencegahan susut hasil dalam penggilingan dapat dilakukan dengan memastikan kualitas gabah dan kadar air dalam gabah sesuai standar (kadar air di bawah 14%). Selain itu, penggunaan mesin yang modern juga dapat meningkatkan rendemen gabah. Penggunaan mesin harus dibarengi dengan adanya sumber daya manusia yang ahli dalam pengoperasian alat sehingga penyetelan alat tepat. Penyetelan alat yang tepat dapat mengurangi susut hasil sehingga rendemen meningkat.
Penulis: Zulfa Rosyidhana, S.P. (Pengawas Mutu Hasil Pertanian Ahli Pertama, DPKP DIY)
Referensi:
Hasbullah, R. dan A.R. Dewi. 2012. Teknik penanganan pascapanen padi untuk menekan susut dan meningkatkan rendemen giling. Jurnal Pangan. 21: 17-28.
Kumar, D. dan P. Kalita. 2017. Reducing postharvest losses during storage of grain crops to strengthen food security in developing countries. Foods. 6: 1-22.
Lantin, R. 1999. Rice: post-harvest operation. INPho – Post-harvest Compendium
Nugraha, S. 2012. Inovasi teknologi pascapanen untuk mengurangi susut hasil dan mempertahankan mutu gabah/beras di tingkat petani. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian. 8: 48-61.
Ruslan, K. 2019. Reducing losses postharvest rice. <https://www.thejakartapost.com/academia/2019/04/11/reducing-losses-postharvest-rice.html>. Diakses pada 22 Juni 2021